Kisah Perjalanan Hidup Albrecht - 7. Chapter 7
< 7 >
•────────────⋅⋆⋅⚔︎⋅⋆⋅────────────•
Albrecht bangun di tengah dini hari, jauh sebelum matahari terbit. Dia melompat keluar dari jendela. Meskipun hanya dua lantai, tempatnya berada di atas bukit, beberapa meter lebih tinggi dari kandang dan pandai besi di sekitarnya, sehingga lompatan tidak sembarangan. Tapi Albrecht mendarat dengan mulus.
Penjaga berdiri di menara gerbang, jadi Albrecht berlari ke arah pagar kayu di sisi yang berlawanan. Dia melompat tinggi untuk meraih ujung pagar.
Di sisi lain, terdapat lereng curam, jauh lebih tinggi dari ketinggian pagar. Jika salah mendarat, Albrecht bisa terjatuh dan terluka parah.
Jantung Albrecht berdebar. Dia sempat ragu untuk kembali, tapi kemudian mantap melompat turun. Karena permukaan tidak rata, dia kehilangan keseimbangan dan terjatuh. Tapi dia bisa memegang pohon di dekatnya untuk menjaga keseimbangan.
Setelah itu, Albrecht turun gunung dengan cepat. Jauh lebih cepat daripada melalui jalan di bukit menuju gerbang. Lalu dia langsung menuju rumah Erik.
Erik sedang tidur. Albrecht tidak suka menyerang orang yang sedang tidur, jadi dia menepuk pipi Erik pelan untuk membangunkannya. Erik terkejut melihat Albrecht.
“Sudah bangun?”
“Tu-Tuan Muda?”
“Ya, bocah sialan. Berani-beraninya lapor pada ayah? Kau tidak akan bisa mati begitu saja.”
Albrecht menampar pipi Erik sekuat tenaga.
Erik terkena pukulan telak, darah mengalir dari bibirnya.
“Uugh…”
Erik terbatuk, memuntahkan gigi yang copot.
Albrecht menampar pipi yang satunya, lalu sekali lagi. Erik pingsan.
Albrecht menggendong Erik di bahunya, menuju persembunyian di hutan.
Di persembunyian, ada lima anak lain yang tertidur sembarangan, sepertinya habis minum-minum. Yurgen juga ada di sana. Banyak anak yang diabaikan oleh orang tuanya.
Albrecht menurunkan Erik dan mengikatnya ke salah satu tiang pondok.
“Hei, bangun semua!”
Albrecht menendang anak-anak yang tidur, lalu menyalakan obor di dinding pondok dengan batu api. Membawa obor ke pondok memang berisiko terbakar, tapi anak-anak tidak peduli. Mereka butuh penerangan untuk bermain sepanjang malam.
Anak-anak mengucek mata dan bangun.
“Eh… Ketua?”
“Ya, anak-anak. Saatnya balas dendam.”
Anak-anak tampak bingung, mungkin mengira akan ada permainan baru. Tapi saat melihat Erik yang terikat, mereka terkejut. Pipinya membengkak dan berdarah.
Selama ini, Albrecht memang bertindak brutal, tapi dia belum pernah melukai orang secara langsung. Biasanya dia hanya memerintah anak-anak untuk bertindak.
“Ketua, mau apa…?”
“Apa? Balas dendam. Tidak, ini penegakan keadilan. Dulu ayah juga pernah kejam, jadi sebagai penerus bangsawan, aku harus menghukum tikus pengkhianat ini.”
Albrecht mengambil kain tebal, memasukkannya ke mulut Erik dan mengikatnya erat-erat di belakang kepala agar dia tidak bisa berteriak.
Saat cahaya mulai menerangi dan tubuhnya diikat, Erik terbangun.
“Ungh… Ungh…”
Dia belum sepenuhnya sadar, matanya tidak terbuka sempurna.
“Sudah kubilang, kau tidak akan bisa mati begitu saja. Hei, bawa pisau ke sini.”
“Ketua…”
Anak-anak selalu bergerak cepat saat diperintah Albrecht. Tapi kali ini, mereka takut dan tak ada yang bergerak.
“Apa? Kenapa tidak mengambil pisaunya?”
Albrecht menatap marah, akhirnya seorang anak mengambil pisau.
Tiba-tiba, Yurgen menepis tangan anak yang membawa pisau, membuat pisau itu jatuh.
Albrecht diam-diam menatap Yurgen. Yurgen gemetar dan tak berani membalas tatapannya.
“Yurgen, kau yang ambil.”
Yurgen terlihat hampir menangis, bibirnya bergetar. Tapi dia tidak bergerak. Anak yang lebih tua di sampingnya memungut pisau yang jatuh dan membawanya pada Albrecht.
Setelah menerima pisau itu, Albrecht masih agak lama menatap Yurgen, lalu beralih pada Erik.
Pisau itu biasa digunakan untuk menguliti hewan, tidak terlalu tajam. Banyak karat dan kotor di sana-sini.
Albrecht mencengkeram satu telinga Erik, berusaha memotongnya. Tapi sulit dipotong, jadi dia merobeknya paksa.
“AAARGH!”
Erik menggeliat kesakitan.
Albrecht juga merobek telinga satunya dan memotong hidungnya. Sekarang tangannya penuh darah.
Anak-anak di sekitar itu tampak terkejut dan membeku oleh kejamnya tindakan Albrecht yang belum pernah mereka lihat.
Albrecht melempar pisau ke lantai dan berdiri di hadapan anak-anak. Mereka gemetar ketakutan, tak berani menatap Albrecht.
“Biarkan dia hidup. Nanti aku yang akan menghabisinya sendiri.”
Albrecht mencuci tangan di ember, lalu kembali ke kastil. Dia harus kembali sebelum orang tuanya bangun.
Albrecht merasa seolah telah melewati batas yang selama ini membelenggu dirinya. Sekarang dia merasa bisa melakukan apa saja. Dia memiliki kekuatan, jadi kenapa tidak bisa menggunakannya sesuka hati? Albrecht merasa bebas.
Albrecht naik ke puncak Hohenzollern, lalu berjalan menyusuri sisi belakang kastil dan memanjat pohon. Dia berpijak di cabang yang kuat, lalu melompat ke atas pagar.
Saat hendak masuk ke dalam, tiba-tiba terdengar suara guntur yang membelah langit, seperti yang belum pernah dia dengar sebelumnya. Lalu Albrecht pingsan.
•──────⋅⋆⋅⚔︎⋅⋆⋅───────•
“Katanya Ketua mau balas dendam. Balas dendam.”
Mendengar kata “balas dendam”, tiba-tiba Yurgen teringat. Bulu kuduknya berdiri. Erik adalah pemilik sapi yang pernah dibunuh Albrecht dulu.
Ternyata Albrecht yang dulu lebih gila daripada yang Yurgen kira. Bukan hanya berandal, tapi psikopat. Tanpa mempedulikan Yurgen, Yurgen berlari sekuat tenaga menuju persembunyian. Kalau berjalan, pasti akan memakan waktu lama, tapi kecepatan lari Albrecht membuatnya tiba dengan cepat.
•────────────⋅⋆⋅⚔︎⋅⋆⋅────────────•